Belajar bahasa Inggris di era digital sekarang memang sudah sangat berbeda dibandingkan dengan 10 atau 15 tahun lalu. Kalau dulu mahasiswa hanya mengandalkan buku teks tebal, kamus cetak, atau materi dari dosen di kelas, sekarang semua bisa diakses dengan satu sentuhan layar ponsel (Almuqhim & Berri, 2025). Salah satu tren yang sedang naik daun adalah microlearning, yaitu belajar lewat sesi singkat yang bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja. Microlearning ini sangat cocok untuk mahasiswa vokasi yang jadwal kuliahnya padat, banyak praktik, dan sering kali tidak punya waktu lama untuk belajar teori bahasa (Fialho et al., 2024).
Microlearning berbasis mobile apps biasanya hanya butuh waktu 5–10 menit per sesi, sehingga mahasiswa tidak merasa terbebani. Contohnya saat sedang menunggu dosen datang ke kelas, atau saat istirahat makan siang di kantin, mahasiswa bisa membuka aplikasi seperti Duolingo atau ELSA Speak untuk melatih vocabulary, pronunciation, atau grammar singkat. Dengan durasi belajar yang pendek, mahasiswa lebih mudah konsisten. Justru konsistensi inilah yang sering menjadi masalah kalau belajar bahasa Inggris dengan cara tradisional.
Buat mahasiswa di jurusan teknik sipil, termasuk di program studi Teknik Konstruksi Jalan dan Jembatan, belajar bahasa Inggris memang bukan sekadar tentang grammar. Mereka butuh kosakata teknis yang spesifik, misalnya kata-kata yang sering muncul di proyek konstruksi, peralatan, atau metode kerja. Nah, di sinilah microlearning bisa dikustomisasi. Dengan bantuan AI, mahasiswa bisa membuat set kata-kata teknis sendiri, lalu berlatih mengulanginya setiap hari dalam sesi singkat.
Salah satu aplikasi yang menarik adalah ELSA Speak. Aplikasi ini menggunakan AI untuk menganalisis cara pengucapan mahasiswa, lalu memberikan feedback apakah sudah benar atau belum. Misalnya seorang mahasiswa mencoba mengucapkan kata "foundation" atau "reinforcement" aplikasi akan mendeteksi kesalahan intonasi atau fonetiknya, lalu memberi tahu bagian mana yang perlu diperbaiki. Cara ini membuat mahasiswa lebih percaya diri ketika nanti harus presentasi atau berkomunikasi dengan orang asing di dunia kerja.
Duolingo juga jadi pilihan populer karena tampilannya yang mirip game. Mahasiswa bisa mengumpulkan poin, naik level, dan membuka tantangan baru. Elemen gamifikasi ini bikin mahasiswa tidak cepat bosan. Bayangkan kalau mahasiswa setiap hari harus membuka buku tebal berbahasa Inggris, pasti langsung malas. Tapi kalau dalam bentuk game dengan skor dan ranking, suasana belajarnya jadi menyenangkan. Bahkan kadang mahasiswa bisa saling bersaing dengan teman-temannya untuk melihat siapa yang levelnya lebih tinggi.
Selain itu, microlearning lewat mobile apps bisa membantu mahasiswa belajar sesuai kecepatan masing-masing (Leong et al., 2021). Tidak semua mahasiswa punya kemampuan bahasa Inggris yang sama. Ada yang cepat memahami grammar, tapi lemah di listening. Ada juga yang jago writing tapi kurang percaya diri kalau speaking. Aplikasi berbasis AI bisa mendeteksi kelemahan pengguna, lalu memberikan latihan yang lebih banyak pada bagian itu. Jadi pembelajaran terasa lebih personal dan sesuai kebutuhan.
Saya pribadi sudah beberapa kali mencoba menggunakan aplikasi-aplikasi ini di kelas. Misalnya, saya minta mahasiswa membuka ELSA Speak selama 10 menit di awal kelas untuk melatih pronunciation. Setelah itu, kami lanjut diskusi tentang istilah-istilah teknis yang muncul di proyek konstruksi. Hasilnya, mahasiswa jadi lebih aktif, karena mereka merasa sudah punya modal latihan singkat sebelumnya. Mereka juga jadi berani mencoba mengucapkan istilah teknis dengan lebih percaya diri.
AI dalam microlearning juga bisa terintegrasi dengan kelas secara hybrid. Misalnya, saya bisa memberikan tugas tambahan berupa latihan di Duolingo yang harus diselesaikan sebelum pertemuan berikutnya. Aplikasi tersebut otomatis mencatat progress mahasiswa, jadi saya bisa tahu siapa yang benar-benar rajin berlatih dan siapa yang hanya sekadar lewat. Dengan cara ini, peran dosen juga terbantu karena ada data konkret tentang perkembangan mahasiswa.
Hal yang menarik dari microlearning adalah fleksibilitasnya. Mahasiswa bisa belajar kapan pun mereka punya waktu luang. Misalnya saat naik ojek online, atau sambil menunggu antrean di bank. Bahkan ada mahasiswa saya yang bilang dia sering latihan speaking pakai ELSA Speak sebelum tidur, karena cuma butuh lima menit. Sesi singkat itu mungkin terlihat sepele, tapi kalau dikumpulkan setiap hari, hasilnya bisa signifikan.
Banyak mahasiswa vokasi merasa bahasa Inggris itu "momok" karena dianggap sulit. Tapi ketika mereka melihat belajar bahasa Inggris bisa dilakukan dengan cara ringan lewat HP, stigma itu mulai berkurang. Apalagi dengan gaya belajar yang interaktif dan mirip bermain, mahasiswa merasa belajar bahasa Inggris tidak lagi sekaku dulu. Di sinilah letak kekuatan microlearning: membuat hal yang rumit jadi terasa sederhana.
Contoh penggunaan AI dalam microlearning juga bisa terlihat dari fitur chatbot berbasis bahasa Inggris. Ada aplikasi yang memungkinkan mahasiswa ngobrol dengan AI seolah-olah sedang berbicara dengan orang asli. Mereka bisa latihan percakapan sehari-hari, atau bahkan percakapan teknis seperti menjelaskan spesifikasi proyek. Chatbot tersebut langsung memberi koreksi jika ada kesalahan grammar atau pilihan kata. Ini jauh lebih praktis dibanding harus selalu menunggu feedback dari dosen.
Selain membantu mahasiswa, microlearning berbasis AI juga mengurangi beban dosen. Kalau dulu dosen harus menjelaskan detail pronunciation satu per satu, sekarang sebagian bisa dibantu oleh aplikasi. Dosen bisa lebih fokus pada hal yang lebih tinggi, seperti diskusi konteks teknis, presentasi proyek, atau simulasi laporan kerja. Dengan begitu, waktu perkuliahan bisa dimanfaatkan lebih efektif.
Saya juga sering menekankan bahwa microlearning bukan pengganti pembelajaran formal di kelas, melainkan pelengkap. Jadi mahasiswa tetap butuh bimbingan dosen untuk memahami konteks, logika bahasa, dan istilah teknis (Desiderio et al., 2024). Aplikasi hanya membantu mereka berlatih setiap hari dalam porsi kecil. Dengan kombinasi keduanya, hasil pembelajaran jadi lebih maksimal. Kalau ditanya apa efek nyata microlearning berbasis mobile apps, saya melihat mahasiswa jadi lebih percaya diri. Mereka tidak lagi takut mencoba berbicara dalam bahasa Inggris. Meski kadang masih ada kesalahan, setidaknya mereka sudah berani mencoba. Ini berbeda dengan dulu, ketika mahasiswa cenderung diam dan enggan membuka mulut karena takut salah.
Di masa depan, saya yakin microlearning berbasis AI akan semakin berkembang. Aplikasinya akan semakin pintar, bisa lebih personal, bahkan mungkin terintegrasi dengan kurikulum vokasi. Bayangkan kalau mahasiswa bisa belajar istilah-istilah konstruksi jalan dan jembatan langsung dari aplikasi yang berbasis AI, lalu menggunakannya dalam diskusi nyata di kelas. Itu akan jadi terobosan besar dalam pembelajaran bahasa Inggris di politeknik.
Kesimpulannya, microlearning berbasis mobile apps memang menawarkan cara baru yang lebih ringan, fleksibel, dan menyenangkan untuk belajar bahasa Inggris. Mahasiswa vokasi di Politeknik Negeri Ambon bisa memanfaatkan momen ini untuk meningkatkan kemampuan mereka, apalagi di era industri yang menuntut kompetensi global. Dengan bantuan aplikasi seperti Duolingo dan ELSA Speak, serta dukungan dosen yang kreatif, belajar bahasa Inggris tidak lagi terasa membosankan. Justru sebaliknya, bisa jadi aktivitas seru yang bikin mahasiswa semakin siap menghadapi dunia kerja.
Referensi:
Almuqhim, S., & Berri, J. (2025). AI‐Driven Personalized Microlearning Framework for Enhanced E‐Learning. Computer Applications in Engineering Education, 33(3), e70040.
Desiderio, L., Poutrain, S., Karda, M., & Kazantzidou, D. (2024, July). Using Artificial Intelligence And Leveraging Nano And Microlearning For Enhanced Language Acquisition: A Comprehensive Approach. In EdMedia+ Innovate Learning (pp. 175-185). Association for the Advancement of Computing in Education (AACE).
Fialho, L. M. F., Neves, V. N. S., & do Nascimento, K. A. S. (2024). The use of microlearning in the educational field: an overview of worldwide scientific production. Edutec, Revista Electrónica de Tecnología Educativa, (88), 7-23.
Leong, K., Sung, A., Au, D., & Blanchard, C. (2021). A review of the trend of microlearning. Journal of Work-Applied Management, 13(1), 88-102.
No comments:
Post a Comment
Give your positive comments.
Avoid offensive comments.
Thank you.