Mengajar bahasa Inggris di jurusan teknik sipil itu punya tantangan unik. Mahasiswa biasanya sangat kuat di sisi teknis, seperti menggambar, menghitung struktur, atau membahas material bangunan, tapi ketika masuk ke kelas bahasa Inggris, sering kali muncul ekspresi “aduh, susah, Pak/Bu”. Padahal kemampuan bahasa Inggris, terutama untuk komunikasi, jadi modal penting kalau mereka nanti bekerja di proyek internasional, ikut seminar, atau bahkan sekadar membaca manual alat yang sebagian besar ditulis dalam bahasa Inggris.
Salah satu keterampilan yang paling sering bikin mahasiswa grogi adalah speaking. Banyak yang paham grammar dasar, tahu kosakata, bahkan bisa menjawab soal pilihan ganda, tapi kalau disuruh ngomong, apalagi percakapan spontan, langsung kaku. Hal ini sebenarnya wajar, karena mereka jarang dapat kesempatan latihan berbicara yang natural, dan sering takut salah. Nah, di sinilah saya mulai coba melibatkan AI, khususnya ChatGPT atau aplikasi sejenis, untuk membantu mahasiswa berlatih.
AI ini bekerja seperti teman ngobrol yang nggak pernah bosan dan nggak pernah menilai. Kalau mahasiswa salah ngomong, AI tidak akan menertawakan. Kalau mereka bingung cari kata, AI bisa kasih alternatif dengan cara yang sederhana. Dengan begitu, speaking yang tadinya dianggap momok, bisa jadi latihan yang lebih rileks. Saya perhatikan, ketika mereka mencoba bicara dengan AI, beban psikologisnya jauh lebih ringan daripada kalau mereka harus langsung presentasi di depan kelas.
Pengalaman pertama saya memperkenalkan AI di kelas cukup menarik. Saya buka laptop, tunjukkan cara chat dengan AI, lalu saya tulis, “Let’s talk about construction materials.” AI langsung merespons dengan pertanyaan sederhana seperti “What kind of construction materials do you usually use in civil engineering?” Mahasiswa yang biasanya diam, akhirnya mencoba menjawab, meskipun dengan kalimat patah-patah. Saya tidak menuntut grammar sempurna, yang penting mereka berani bicara dulu.
Setelah itu, saya kasih ide ke mahasiswa untuk pakai AI lewat HP mereka sendiri. Saya minta mereka tulis satu kalimat tentang topik tertentu, lalu AI akan menanggapi. Semakin lama, mahasiswa terbiasa untuk menjawab balik, dan percakapan pun mengalir. Dari yang tadinya cuma satu kalimat, lama-lama bisa jadi dua sampai tiga kalimat. Perkembangan kecil seperti ini sudah cukup membuat saya merasa penggunaan AI bermanfaat.
AI juga bisa dipakai untuk memberikan role play. Misalnya, saya bilang ke AI, “Pretend you are a project manager, and I am a civil engineering student who wants to apply for a job.” Lalu AI mulai bertanya, “Can you tell me about your experience in construction projects?” Mahasiswa kemudian belajar menjawab, walau dengan bahasa sederhana. Ini jauh lebih interaktif dibandingkan sekadar menghafal teks percakapan yang sudah ada di buku.
Tentu saja, saya tidak hanya menyerahkan semua ke AI. Saya tetap mendampingi, memberi koreksi di sana-sini, dan menjelaskan kalau ada kalimat yang kurang pas. AI jadi semacam media latihan tambahan, bukan pengganti dosen. Yang saya suka, mahasiswa bisa lanjut berlatih di luar kelas tanpa harus menunggu jadwal kuliah. Jadi proses belajarnya tidak terbatas di ruang kelas saja.
Ada satu contoh yang cukup lucu. Saya minta mahasiswa untuk mencoba berbicara tentang “bridge construction.” AI lalu bertanya, “What are the most important factors when designing a bridge?” Mahasiswa ini menjawab, “The important factor is strong, not fall down.” Semua tertawa, tapi justru dari situ kita belajar. Saya jelaskan kalau lebih naturalnya bisa bilang, “The most important factor is the strength of the bridge, so it won’t collapse.” Dari kesalahan sederhana itu, mereka jadi ingat lebih kuat.
AI juga bisa dipakai untuk melatih pronunciation. Memang, AI berbasis teks tidak bisa menilai pelafalan langsung, tapi kalau pakai aplikasi berbasis suara seperti ChatGPT voice, mahasiswa bisa ngomong langsung. Kalau AI bingung, berarti ada yang salah dengan pronunciation, dan mahasiswa bisa mencoba memperbaiki. Ini cukup membantu melatih kepercayaan diri, apalagi buat mahasiswa yang jarang berinteraksi dengan native speaker.
Dalam konteks teknik sipil, banyak istilah yang jarang muncul di percakapan sehari-hari. Misalnya, kata-kata seperti “reinforcement” “foundation” “load-bearing” atau “sustainability” Dengan AI, saya bisa membuat simulasi percakapan yang memuat istilah-istilah tersebut, sehingga mahasiswa terbiasa mendengarnya. Jadi, saat nanti mereka baca jurnal internasional atau mendengar presentasi, istilah itu tidak terdengar asing lagi.
Saya juga mencoba memberi tugas sederhana berbasis AI. Misalnya, saya minta mahasiswa menuliskan deskripsi singkat tentang sebuah bangunan menggunakan bahasa Inggris, lalu minta AI untuk memberikan feedback. Hasilnya, mereka bisa melihat langsung mana kalimat yang perlu diperbaiki. Saya perhatikan, mahasiswa lebih cepat mengingat perbaikan ketika AI yang menunjukkan, mungkin karena terasa seperti “teman chat” daripada “guru yang menilai.”
Salah satu contoh tugas yang sering saya pakai adalah: “Describe how to build a simple concrete column.” Mahasiswa menulis, “First, make a hole, then put steel, then pour the concrete.” AI lalu membantu dengan memperhalus menjadi, “First, dig a hole, then place the steel reinforcement, and finally pour the concrete.” Dari sini mahasiswa bisa belajar cara mengungkapkan ide teknis dalam kalimat yang lebih rapi.
Yang menarik, mahasiswa jadi lebih termotivasi ketika melihat AI bisa menjawab cepat. Mereka merasa seperti punya sparring partner dalam berlatih bahasa. Ada juga yang mencoba menguji AI dengan pertanyaan-pertanyaan aneh, misalnya, “Do you know traditional houses in Maluku?” AI menjawab seadanya, tapi justru percakapan itu jadi jembatan untuk membandingkan antara pengetahuan lokal dan bahasa Inggris teknik.
Tentu ada tantangan juga. Kadang mahasiswa terlalu bergantung pada AI, sehingga mereka cenderung copy-paste jawaban tanpa mencoba menyusunnya sendiri. Di sinilah saya tekankan pentingnya berpikir dulu, baru gunakan AI sebagai pendamping. Saya sering bilang, “AI itu seperti kawan sparing, bukan yang mengerjakan PR kalian.” Kalau dipakai dengan benar, manfaatnya luar biasa, tapi kalau salah, ya hanya jadi jalan pintas.
Hal lain yang juga saya dorong adalah penggunaan AI untuk latihan presentasi. Mahasiswa bisa menulis draft presentasi mereka, lalu minta AI untuk membuat pertanyaan audiens. Jadi, mereka bisa berlatih menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dalam bahasa Inggris. Ini sangat berguna ketika mereka harus ikut seminar atau lomba karya ilmiah.
Dalam perjalanan ini, saya belajar bahwa kunci sukses penggunaan AI dalam speaking bukan pada teknologinya semata, tapi pada keberanian mahasiswa untuk mencoba. AI hanya memberikan lingkungan yang lebih aman dan lebih ramah. Begitu mereka berani bicara, perkembangan kemampuan speaking akan mengikuti.
Saya membayangkan ke depan, peran AI akan semakin besar dalam pendidikan vokasi, termasuk di jurusan teknik sipil. Bukan hanya untuk bahasa Inggris, tapi juga untuk simulasi teknis, desain, dan bahkan perhitungan. Tapi untuk saat ini, bagi saya yang paling penting adalah mahasiswa bisa merasa bahwa belajar bahasa Inggris itu tidak sesulit yang mereka bayangkan.
Akhir kata, kalau ada mahasiswa yang tadinya tidak pernah berani bicara, lalu bisa bercakap-cakap walau singkat dengan AI, itu sudah jadi kemenangan kecil. Dan dari kemenangan kecil itulah, perlahan tapi pasti, kemampuan speaking mereka akan tumbuh. Sebagai dosen, melihat perubahan itu rasanya lebih dari cukup untuk terus semangat mencari cara-cara baru agar mahasiswa tidak hanya menguasai bidang teknik, tapi juga siap berkomunikasi di dunia global.
No comments:
Post a Comment
Give your positive comments.
Avoid offensive comments.
Thank you.