Saturday, August 9, 2025

AI dalam Penulisan Skripsi/Tugas Akhir: Solusi Cerdas atau Jalan Pintas?

Gambar: Ilustrasi penggunaan AI dalam penulisan skripsi

Menulis skripsi atau tugas akhir sering kali menjadi tantangan besar bagi mahasiswa. Bukan hanya karena jumlah halaman yang harus dipenuhi, tetapi juga karena tuntutan untuk menyampaikan gagasan secara runtut, jelas, dan tentu saja—bebas dari plagiarisme. Sayangnya, di banyak kasus, masih banyak mahasiswa yang terjebak dalam kebiasaan copy-paste, baik dari sumber daring maupun buku, tanpa upaya mengubah atau memparafrasekan kalimat tersebut. Akibatnya, karya yang dihasilkan tidak mencerminkan orisinalitas pemikiran mereka.

Parafrase bukan sekadar mengganti kata dengan sinonim, tetapi mengubah struktur kalimat, menyederhanakan atau memperluas gagasan, sambil tetap mempertahankan makna yang sama. Inilah yang sering menjadi titik lemah. Banyak mahasiswa bingung bagaimana mengubah teks asli menjadi tulisan mereka sendiri tanpa mengurangi esensi isi. Kebingungan ini sering berujung pada dua kemungkinan: mereka tetap melakukan copy-paste, atau memparafrase secara asal sehingga maknanya melenceng.

Masalah lain muncul pada bagian pendahuluan, khususnya di subbab latar belakang. Di sini mahasiswa diharapkan menjelaskan alasan penelitian mereka dilakukan, menguraikan fenomena atau masalah yang melatarbelakangi, dan menghubungkannya dengan teori atau data. Namun, yang sering terjadi adalah kalimat-kalimat yang dibuat terdengar acak, tidak nyambung satu sama lain, atau bahkan terlalu umum. Alhasil, pembaca akan kesulitan memahami arah penelitian yang dimaksud.

Banyak mahasiswa menganggap pendahuluan hanyalah formalitas, padahal bagian ini adalah “etalase” dari keseluruhan skripsi atau tugas akhir. Jika pembaca sudah kebingungan sejak awal, maka kesan yang tertinggal akan kurang baik. Lebih buruk lagi, dosen pembimbing bisa saja meminta revisi berkali-kali hanya karena pendahuluan yang tidak jelas.

Di era digital saat ini, sebenarnya sudah ada banyak alat yang bisa membantu mahasiswa menulis lebih baik, salah satunya adalah kecerdasan buatan (AI). AI dapat membantu memparafrasekan teks, memperbaiki tata bahasa, menyusun kalimat agar lebih logis, bahkan memberikan saran agar ide tersampaikan dengan lebih runtut. Dengan kata lain, AI bisa menjadi “teman diskusi” yang sabar dan selalu siap memberi masukan (Rababah et al., 2024).

Contohnya, ChatGPT bisa digunakan untuk memparafrasekan teori yang diambil dari buku atau jurnal. Misalnya, jika ada kutipan tentang “Teori X menyatakan bahwa kualitas pelayanan berpengaruh signifikan terhadap kepuasan pelanggan”, AI bisa membantu mengubahnya menjadi “Menurut Teori X, tingkat kualitas pelayanan memiliki dampak yang besar terhadap tingkat kepuasan pelanggan” tanpa mengubah makna. Proses ini membantu mahasiswa menghindari plagiasi sambil tetap mempertahankan substansi.

Selain memparafrase, AI seperti Grammarly atau Quillbot dapat memperbaiki tata bahasa dan struktur kalimat. Grammarly, misalnya, tidak hanya mengoreksi ejaan tetapi juga memberikan saran perbaikan agar kalimat menjadi lebih efektif. Quillbot, di sisi lain, sangat berguna untuk memvariasikan kalimat, membuat tulisan lebih natural, dan menjaga koherensi antarparagraf. Selain itu, mahasiswa dapat mengunjungi LINK INI untuk mulai parafrase tulisan dalam skripsi/tugas akhir mereka dengan gratis dan tanpa ribet.

Tidak hanya itu, AI juga bisa membantu mahasiswa mengembangkan ide di bagian pendahuluan. Misalnya, jika mahasiswa tahu topik penelitiannya tetapi tidak tahu bagaimana menghubungkannya dengan fenomena yang relevan, AI dapat memberikan contoh narasi. Misal, topik tentang “Digitalisasi UMKM” dapat diawali dengan narasi tentang perkembangan teknologi, tantangan UMKM di era digital, lalu mengerucut ke masalah yang akan diteliti.

Penggunaan AI ini bukan berarti mahasiswa boleh bersikap malas. Justru, AI harus digunakan sebagai pendukung, bukan pengganti pemikiran kritis. Mahasiswa tetap perlu memahami isi kutipan atau teori yang diambil, sehingga ketika AI memberikan parafrase, mereka bisa mengecek apakah maknanya tetap sesuai. Perlu diingat juga bahwa hasil dari AI tidak selalu sempurna. Ada kalanya parafrase yang dihasilkan kurang tepat atau tata bahasa yang disarankan tidak cocok untuk konteks akademik. Di sinilah peran mahasiswa sebagai penulis tetap krusial: mereka harus menjadi editor utama karya mereka sendiri.

Membiasakan diri untuk memahami sebelum menulis adalah kunci. Ketika mahasiswa benar-benar memahami teori atau narasi yang mereka baca, proses menuliskannya kembali akan menjadi lebih alami. AI hanya akan menjadi alat bantu yang mempercepat proses, bukan tongkat sihir yang langsung menghasilkan tulisan sempurna.

Salah satu tips praktis adalah: baca satu paragraf sumber, pahami maknanya, lalu tutup sumber tersebut dan tulis ulang dengan kata-kata sendiri. Setelah itu, baru gunakan AI untuk memeriksa atau memperbaiki susunan kalimat. Metode ini akan melatih pemahaman sekaligus menjaga orisinalitas.

Dalam konteks bagian pendahuluan, AI bisa membantu menyusun alur logis. Misalnya, mahasiswa bisa meminta AI untuk membuat kerangka narasi dari poin-poin yang sudah dimiliki. AI dapat menyusunnya dari pernyataan umum, mengerucut ke masalah spesifik, lalu menutup dengan tujuan penelitian.

Sebagai contoh: seorang mahasiswa yang meneliti tentang “Pengaruh Media Sosial terhadap Minat Beli” bisa memulai dengan data penggunaan media sosial di Indonesia, dilanjutkan dengan fenomena meningkatnya belanja online, lalu masuk ke celah penelitian yang ingin ia kaji. AI dapat membantu menyusun transisi antarbagian sehingga pembaca tidak merasa “loncat-loncat” saat membaca.

Namun, penting untuk memberi sentuhan pribadi. AI memang canggih, tapi tulisan yang baik adalah tulisan yang mencerminkan gaya berpikir penulisnya (Nugroho et al., 2025). Tambahkan pengalaman, pengamatan lapangan, atau data lokal yang relevan agar skripsi tidak terasa seperti hasil cetakan mesin.

Dalam hal menghindari plagiasi, mahasiswa juga harus memahami aturan penulisan sitasi dan daftar pustaka. AI seperti Zotero atau Mendeley bisa memudahkan pengelolaan referensi. Dengan alat ini, mahasiswa tidak hanya menulis ulang teks, tapi juga memastikan sumbernya tercatat dengan benar.

Gambar: Ilustrasi penggunaan AI dalam penulisan skripsi

Banyak dosen sebenarnya tidak anti terhadap penggunaan AI, asalkan digunakan secara etis. Yang menjadi masalah adalah jika mahasiswa sepenuhnya menyerahkan pembuatan skripsi kepada AI tanpa proses berpikir sendiri. Itu sama saja seperti membeli skripsi, hanya saja sumbernya mesin. Sebaliknya, jika mahasiswa menggunakan AI untuk memperbaiki struktur kalimat, menyederhanakan ide, atau memeriksa plagiasi, justru hasilnya akan lebih baik (Marito et al., 2024). AI seperti Turnitin atau Grammarly Premium bahkan bisa membantu memindai kesamaan teks dan memberi saran perbaikan.

Dengan pendekatan yang benar, AI dapat menjadi jembatan antara kesulitan mahasiswa dalam menulis dan tuntutan akademik yang tinggi. Mereka tidak lagi merasa terbebani karena harus “menulis indah” sejak awal, tetapi bisa fokus pada substansi penelitian. Namun, tetap ada PR besar: membangun kesadaran literasi digital. Mahasiswa perlu tahu batasan dan etika penggunaan teknologi ini. Mereka harus bisa membedakan mana bantuan yang sehat, dan mana yang justru membuat mereka kehilangan keterampilan menulis.

Kampus juga bisa berperan dengan memberikan pelatihan singkat tentang parafrase, penulisan akademik, dan penggunaan AI (Ateeq et al., 2024). Pelatihan ini akan membekali mahasiswa dengan keterampilan dasar yang bisa mereka gunakan sepanjang karier, tidak hanya saat mengerjakan skripsi. Jika semua pihak bekerja sama—mahasiswa, dosen, dan teknologi—maka isu plagiasi dan tulisan yang tidak runtut bisa diminimalkan. Skripsi akan menjadi karya yang membanggakan, bukan sekadar syarat kelulusan.

Akhirnya, teknologi hanyalah alat. Otak dan kreativitas manusialah yang memutuskan hasil akhir. Mengandalkan AI sepenuhnya tanpa berpikir sendiri hanya akan melahirkan skripsi yang “rapi di luar, kosong di dalam”. Tetapi memadukan kemampuan berpikir kritis dengan dukungan AI akan melahirkan karya yang orisinal, kuat, dan membanggakan.

Dan ketika kelak mahasiswa itu lulus, mereka akan membawa bukan hanya ijazah, tetapi juga keterampilan menulis yang matang, kemampuan mengolah ide, dan kebiasaan berpikir kritis. Itu semua akan jauh lebih berharga daripada sekadar gelar sarjana.

Referensi:

Ateeq, A., Alaghbari, M. A., Alzoraiki, M., Milhem, M., & Beshr, B. A. H. (2024, January). Empowering academic success: integrating AI tools in university teaching for enhanced assignment and thesis guidance. In 2024 ASU International Conference in Emerging Technologies for Sustainability and Intelligent Systems (ICETSIS) (pp. 297-301). IEEE.

Marito, W., Riani, N., & Nurohim, M. (2024). Workshop Optimalisasi Pemanfaatan Artificial Intelligence (AI) dalam Penyusunan Skripsi Mahasiswa. JURNAL ABDIMAS UPMI, 3(1), 75-81.

Nugroho, B., Iriani, T., & Murtinugraha, R. E. (2025). Analisis Penggunaan Aplikasi Artificial Intelligence (AI) sebagai Alat Bantu Penyelesaian Skripsi pada Mahasiswa. JIIP-Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan, 8(3), 3022-3029.

Rababah, L. M., Rababah, M. A., & Al-Khawaldeh, N. N. (2024). Graduate Students’ ChatGPT Experience and Perspectives during Thesis Writing. International Journal of Engineering Pedagogy, 14(3).

No comments:

Post a Comment

Give your positive comments.
Avoid offensive comments.
Thank you.