Gamifikasi atau game-based learning mulai jadi salah satu strategi pembelajaran yang cukup ramai dibicarakan di dunia pendidikan, termasuk di perguruan tinggi vokasi. Konsep ini sebenarnya sederhana, yaitu memasukkan elemen permainan ke dalam proses belajar supaya mahasiswa merasa lebih tertarik dan termotivasi (Dehghanzadeh et al., 2021). Kalau biasanya mahasiswa duduk diam, mendengarkan, dan mencatat, maka dengan gamifikasi suasana kelas bisa lebih hidup karena mereka aktif terlibat dalam permainan yang tetap berhubungan dengan materi. Dalam konteks pembelajaran bahasa Inggris teknik di jurusan teknik sipil, pendekatan ini bisa jadi solusi untuk mengatasi rasa bosan atau kesulitan yang sering dialami mahasiswa ketika berhadapan dengan istilah-istilah teknis yang kaku.
Mahasiswa politeknik, apalagi di program studi teknik konstruksi jalan dan jembatan, sering menganggap bahasa Inggris hanya sebatas mata kuliah pelengkap, bukan kebutuhan utama. Padahal kenyataannya, bahasa Inggris sangat penting ketika mereka harus membaca manual teknik, jurnal internasional, atau berkomunikasi dengan pihak luar negeri di proyek besar. Nah, di sinilah gamifikasi bisa masuk sebagai jembatan. Alih-alih menjejali mereka dengan hafalan kosakata atau grammar, dosen bisa mendesain permainan yang menyenangkan tapi tetap mengasah kemampuan bahasa Inggris sesuai dengan kebutuhan bidang mereka.
Salah satu contoh sederhana gamifikasi adalah penggunaan kuis berbasis aplikasi dengan sistem poin, level, atau badge. Misalnya, ketika mahasiswa belajar tentang vocabulary seputar konstruksi jembatan, mereka bisa ikut dalam kuis cepat lewat aplikasi seperti Kahoot atau Quizizz. Setiap jawaban benar akan mendapat poin, dan mahasiswa bisa melihat peringkat mereka secara real-time. Nuansa kompetitif ini membuat mahasiswa jadi lebih bersemangat, bahkan mahasiswa yang biasanya pasif pun ikut tertarik untuk menjawab karena tidak ingin ketinggalan dari teman-temannya (Wulantari et al., 2023). Dengan cara ini, materi yang tadinya membosankan bisa terasa lebih ringan.
Selain aplikasi quiz, simulasi proyek berbasis game juga bisa jadi pilihan menarik. Misalnya, mahasiswa diajak membuat kelompok kecil dan diberikan skenario proyek pembangunan jembatan. Dalam simulasi itu, setiap kelompok harus berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris untuk mendiskusikan langkah-langkah teknis. Agar lebih seru, dosen bisa memberikan tantangan berupa “mission” tertentu, seperti menjelaskan metode kerja kepada “klien” yang sebenarnya diperankan oleh dosen. Unsur game muncul ketika ada reward untuk kelompok dengan komunikasi terbaik, entah berupa tambahan nilai, sertifikat kecil, atau bahkan sekadar pengakuan di depan kelas.
Gamifikasi juga bisa memanfaatkan teknologi AI untuk memperkaya pengalaman belajar (Sourav et al., 2021). Misalnya, menggunakan ChatGPT sebagai “law partner” atau “virtual client” yang diajak mahasiswa untuk berlatih percakapan. Mahasiswa bisa diminta untuk menuliskan instruksi kerja kepada ChatGPT dalam bahasa Inggris, lalu ChatGPT akan merespons seolah-olah ia adalah klien atau supervisor proyek. Dari situ, mahasiswa bisa belajar bagaimana menyusun kalimat yang jelas, formal, tapi tetap komunikatif. Bahkan mereka bisa meminta ChatGPT untuk memberikan feedback langsung, misalnya menyoroti grammar atau kosakata yang kurang tepat.
Contoh penggunaannya bisa sederhana seperti ini: seorang mahasiswa mengetik ke ChatGPT, “Please act as a project manager in a road construction project. I will explain my work plan to you in English, and give me feedback about my explanation.” Lalu mahasiswa mencoba menuliskan rencana kerja singkat dalam bahasa Inggris, misalnya tentang tahapan survei lokasi atau metode pelapisan aspal. ChatGPT kemudian akan menanggapi dengan komentar seperti, “Good explanation, but you should use the passive voice in this sentence” atau “You can replace this word with a more technical term.” Dengan latihan ini, mahasiswa bukan hanya belajar bahasa, tapi juga mendapat pengalaman seolah-olah berada dalam situasi nyata.
Kelebihan gamifikasi adalah suasana kelas jadi lebih interaktif. Mahasiswa tidak hanya duduk diam mendengar, tapi mereka bisa bergerak, berdiskusi, bahkan berdebat dalam suasana yang menyenangkan. Misalnya, ketika mereka bermain role-play tentang rapat proyek konstruksi, mereka akan tertawa ketika ada teman yang salah mengucapkan istilah, tapi di balik itu sebenarnya mereka belajar dengan sangat efektif. Rasa senang ini membuat mereka lebih mudah mengingat kosakata dan struktur kalimat yang dipakai, dibandingkan jika hanya diberikan teori tanpa praktik.
Namun tentu saja, gamifikasi tidak selalu mulus diterapkan. Ada saja mahasiswa yang merasa permainan itu kekanak-kanakan, atau tidak terbiasa belajar dengan cara seperti ini. Sebagai dosen, tugas kita adalah menyesuaikan game supaya relevan dengan usia dan konteks mereka. Jadi, bukan permainan asal-asalan, melainkan permainan yang memang dirancang untuk melatih keterampilan yang mereka butuhkan. Misalnya, mahasiswa teknik sipil mungkin lebih antusias kalau permainan berkaitan langsung dengan proyek konstruksi, bukan sekadar crossword puzzle tentang vocabulary umum.
Salah satu strategi yang bisa dipakai adalah sistem reward yang nyata. Mahasiswa politeknik biasanya lebih semangat kalau ada kaitan dengan nilai atau prestasi. Jadi, misalnya setiap kali mereka menyelesaikan misi atau memenangkan game, mereka bisa mendapat poin tambahan yang nantinya bisa berpengaruh pada nilai partisipasi. Hal ini membuat mereka merasa usaha mereka benar-benar dihargai, bukan hanya sekadar main-main di kelas. Apalagi jika reward itu dikaitkan dengan dunia nyata, misalnya sertifikat kecil tentang kemampuan komunikasi bahasa Inggris dalam proyek simulasi.
Selain itu, gamifikasi bisa dikombinasikan dengan project-based learning yang sudah sering dipakai di politeknik. Jadi, game bukan hanya berlangsung satu kali, tapi menjadi bagian dari proses belajar sepanjang semester. Misalnya, mahasiswa diminta membuat jurnal proyek dalam bahasa Inggris, dan setiap minggu ada checkpoint berupa mini game atau challenge yang harus mereka selesaikan. Hal ini tidak hanya menjaga konsistensi belajar, tapi juga memberi mereka rasa pencapaian yang terus bertambah.
Dalam praktiknya, dosen juga bisa melibatkan mahasiswa untuk ikut merancang permainan. Misalnya, satu kelompok mahasiswa diminta membuat pertanyaan quiz tentang topik tertentu, lalu kelompok lain harus menjawab. Atau mereka diminta membuat role-play skenario proyek sendiri dan memperagakannya di depan kelas. Keterlibatan ini tidak hanya melatih kreativitas, tapi juga membuat mereka merasa memiliki kontrol atas proses belajar. Ketika mahasiswa ikut merancang permainan, mereka secara tidak sadar juga sedang memperdalam materi yang dipelajari.
Tentu tidak bisa dipungkiri bahwa tantangan terbesar gamifikasi adalah ketersediaan teknologi. Di beberapa kelas, mungkin tidak semua mahasiswa punya akses internet yang stabil atau perangkat yang mendukung. Namun, kreativitas dosen bisa menjadi kunci untuk tetap menjalankan konsep ini dengan cara sederhana. Bahkan permainan tradisional seperti tebak kata atau lomba cepat menyusun kalimat bisa dibuat lebih menarik dengan sentuhan gamifikasi, misalnya ada leaderboard kelas atau hadiah kecil untuk pemenang.
Gamifikasi juga membuka peluang untuk kolaborasi antar mahasiswa (Mee Mee et al., 2020). Saat mereka bermain dalam kelompok, biasanya akan muncul dinamika kerja sama yang mirip dengan situasi nyata di dunia kerja. Mereka belajar mendengarkan, berargumentasi, dan berbagi peran. Semua itu adalah soft skills yang sangat penting bagi lulusan politeknik, apalagi di bidang teknik sipil yang menuntut kerja sama tim dalam setiap proyek. Jadi, dengan cara ini, pembelajaran bahasa Inggris tidak hanya melatih kemampuan bahasa, tapi juga keterampilan komunikasi dan kerja tim.
Ada juga sisi emosional yang penting. Mahasiswa sering merasa bahasa Inggris itu sulit, penuh aturan, dan membuat frustrasi. Dengan gamifikasi, rasa takut itu bisa dikurangi karena belajar terasa lebih ringan. Ketika mereka bisa tertawa bersama teman, sekaligus belajar dari kesalahan dengan cara yang menyenangkan, motivasi belajar mereka akan meningkat. Ini jauh lebih efektif dibandingkan jika mereka terus-menerus ditekan dengan standar formal yang kaku.
Gamifikasi bukan berarti menghilangkan seriusnya belajar, tapi justru membuat proses belajar jadi lebih bermakna (Almelhes, 2024). Mahasiswa masih belajar grammar, kosakata, dan struktur kalimat, tapi dengan cara yang membuat mereka ingin terus mencoba. Bahkan kegagalan dalam permainan bisa jadi pengalaman belajar yang positif, karena mereka bisa langsung memperbaiki kesalahan dengan cara yang fun. Inilah yang membuat gamifikasi begitu cocok diterapkan di perguruan tinggi vokasi.
Jika dikaitkan dengan AI, sebenarnya peluangnya masih sangat besar. Misalnya, dosen bisa mengintegrasikan chatbot AI ke dalam permainan. Mahasiswa bisa diminta untuk berkomunikasi dengan chatbot menggunakan bahasa Inggris, dan chatbot akan memberikan skenario yang berbeda setiap kali. Bayangkan mahasiswa mendapat pesan dari “klien virtual” yang meminta penjelasan tentang metode pengecoran beton, lalu mereka harus merespons dengan tepat. Unsur gamenya muncul dari variasi skenario dan kecepatan respons yang dituntut.
Selain itu, aplikasi berbasis AI seperti Duolingo juga bisa dimanfaatkan. Walaupun fokusnya pada bahasa Inggris umum, mahasiswa bisa diarahkan untuk menggunakannya sebagai latihan tambahan di luar kelas. Dengan sistem level, poin, dan streak harian, aplikasi ini sebenarnya sudah menggunakan prinsip gamifikasi. Mahasiswa bisa termotivasi karena ingin mempertahankan streak mereka, dan secara tidak langsung keterampilan bahasa Inggris mereka meningkat.
Dari semua ini, intinya adalah gamifikasi bisa membantu membuat pembelajaran bahasa Inggris di politeknik jadi lebih menyenangkan, relevan, dan efektif. Sebagai dosen, kita perlu terus mencoba berbagai cara supaya mahasiswa tidak merasa terbebani, melainkan justru tertantang untuk belajar lebih giat. Apalagi di era teknologi sekarang, mahasiswa lebih terbiasa dengan suasana interaktif dibandingkan metode satu arah yang kaku. Jadi, gamifikasi adalah salah satu jawaban untuk menjembatani kebutuhan itu.
Di jurusan teknik sipil, khususnya teknik konstruksi jalan dan jembatan, mahasiswa akan banyak berhadapan dengan dokumen, manual, dan komunikasi internasional di dunia kerja nanti. Karena itu, kemampuan bahasa Inggris mereka tidak boleh diabaikan. Melalui gamifikasi, mereka bisa melatih kemampuan itu dengan cara yang lebih menyenangkan, sehingga ketika lulus nanti mereka tidak hanya ahli secara teknis, tapi juga siap berkomunikasi di level global.
Referensi:
Almelhes, S. A. (2024, March). Gamification for teaching the Arabic language to non-native speakers: a systematic literature review. In Frontiers in education (Vol. 9, p. 1371955). Frontiers Media SA.
Dehghanzadeh, H., Fardanesh, H., Hatami, J., Talaee, E., & Noroozi, O. (2021). Using gamification to support learning English as a second language: a systematic review. Computer Assisted Language Learning, 34(7), 934-957.
Mee Mee, R. W., Shahdan, T. S. T., Ismail, M. R., Ghani, K. A., Pek, L. S., Von, W. Y., ... & Rao, Y. S. (2020). Role of Gamification in Classroom Teaching: Pre-Service Teachers' View. International Journal of Evaluation and Research in Education, 9(3), 684-690.
Sourav, A. I., Lynn, N. D., & Suyoto, S. (2021, March). Teaching English tenses in an informal cooperative study group using smart multimedia and gamification. In IOP Conference Series: Materials Science and Engineering (Vol. 1098, No. 3, p. 032035). IOP Publishing.
Wulantari, N. P., Rachman, A., Sari, M. N., Uktolseja, L. J., & Rofi'i, A. (2023). The role of gamification in English language teaching: A literature. Journal on Education, 6(01), 2847-2856.
No comments:
Post a Comment
Give your positive comments.
Avoid offensive comments.
Thank you.