Sunday, August 24, 2025

Capek Nulis Artikel Jurnal? 6 Tanda Ini Bukti Kalau Kamu Butuh Healing (Biar Nggak Makin Burnout!)


Tau gak sih, kalau nulis artikel jurnal itu kadang berasa kayak perjalanan panjang tanpa ujung. Dari nyari ide, ngumpulin data, ngolah hasil penelitian, sampai revisi yang bisa bolak-balik bikin kepala pusing tujuh keliling. Nggak jarang, proses ini bikin mental drop dan badan ikutan protes. Kalau kamu lagi ngerasa begini, mungkin tandanya kamu butuh “healing” sejenak.

Kadang yang bikin berat itu bukan cuma kerjaan teknisnya, tapi juga ekspektasi dari diri sendiri maupun orang lain. Kita sering kepikiran kalau tulisan harus langsung sempurna, padahal menulis itu proses yang wajar penuh trial and error. Jadi jangan terlalu keras sama diri sendiri, karena setiap revisi sebenarnya langkah maju, bukan kegagalan.

Selain itu, jangan lupa kalau hidup bukan cuma tentang jurnal. Sesekali alihkan perhatian ke hal-hal sederhana yang bikin bahagia: nongkrong sama teman, main game sebentar, atau sekadar jalan sore lihat matahari terbenam. Aktivitas kecil begitu bisa jadi vitamin buat mental, biar pas balik nulis, energi dan ide lebih gampang ngalir.

FYI, menulis artikel jurnal itu juga kadang berasa kayak maraton panjang yang nggak kelihatan garis finish-nya. Dari nyari ide, ngumpulin data, ngolah hasil penelitian, sampai revisi yang bisa berkali-kali, semuanya butuh energi besar. Wajar kalau penulis jurnal sering merasa lelah, jenuh, bahkan nyaris menyerah. Kalau kamu pernah atau sedang ngalamin hal ini, mungkin memang waktunya kasih ruang buat diri sendiri buat “healing”. Yuk, kita bahas tanda-tandanya sekaligus tips singkat biar tetap waras dan produktif.

1. Semangat Drop
Awal-awal biasanya semangat masih membara. Tapi lama-lama, ketika draft sudah bolak-balik ditolak atau revisi nggak ada habisnya, semangat bisa turun drastis. Rasanya kayak nggak ada energi buat buka laptop apalagi ngetik satu paragraf pun.
Semangat biasanya tinggi di awal, apalagi kalau ide penelitian terasa segar. Tapi seiring perjalanan, revisi berkali-kali, data yang sulit diolah, atau komentar reviewer bisa bikin semangat anjlok. Laptop terasa berat untuk dibuka, bahkan sekadar menulis kalimat pembuka bisa berjam-jam tak selesai. Kalau sudah sampai tahap ini, jelas tubuh dan pikiran butuh bahan bakar baru.
Tips healing: Coba pecah target besar jadi kecil. Misalnya, hari ini cukup menulis satu paragraf atau merapikan tabel saja. Rasakan kepuasan dari progress kecil itu. Sambil jalan, imbangi dengan aktivitas yang membangkitkan energi, seperti jogging ringan atau sekadar duduk di ruang terbuka menghirup udara segar.

2. Sensitif dan Mudah Tersinggung
Hal kecil pun bisa bikin emosi. Misalnya, dikasih masukan dari reviewer atau dosen pembimbing malah dianggap nyakitin hati. Padahal, kalau dipikir-pikir, itu masukan buat bikin tulisan kita lebih bagus. Tapi kalau lagi di fase ini, kritik sekecil apa pun rasanya berat banget diterima.
Saat kondisi mental mulai rapuh, kritik kecil bisa terasa besar. Komentar dari pembimbing atau reviewer yang sebenarnya membangun, malah terdengar seperti serangan pribadi. Akhirnya, mood jadi jelek seharian. Ini wajar terjadi karena tekanan menulis sudah menguras emosi.
Tips healing: Cobalah kendalikan reaksi dengan memberi jeda. Kalau baru dapat komentar yang bikin emosi, jangan langsung dibalas. Alihkan dulu perhatian dengan aktivitas yang bikin hati adem, seperti memasak, mendengarkan musik favorit, atau ngobrol santai dengan teman. Setelah tenang, biasanya kritik itu bisa dilihat dari sudut pandang yang lebih jernih. Menurut UNC Learning Center, istirahat yang efektif itu bukan sekadar melepas kerja, tapi melakukan aktivitas yang secara jelas bisa kamu nikmati, misalnya meditasi, mendengarkan musik, atau ngobrol singkat dengan teman yang membuat pikiran kamu jadi lebih rileks.

3. Mudah Lelah
Nggak cuma mental, fisik juga bisa ikutan capek. Duduk lama di depan layar, begadang buat nyusun argumen, sampai mata kering karena terlalu lama menatap layar. Tubuh akhirnya ngasih sinyal: gampang pegel, gampang ngantuk, dan gampang drop.
Begadang demi deadline, duduk terlalu lama di depan laptop, hingga menatap data berjam-jam tanpa henti, semua itu bikin tubuh gampang capek. Tanda-tandanya jelas: mata berat, pundak pegal, bahkan sulit konsentrasi. Kalau dibiarkan, hasil tulisan justru makin kacau.
Tips healing: Atur ritme kerja dengan teknik pomodoro (25 menit fokus, 5 menit istirahat). Gunakan jeda itu untuk stretching, jalan kecil, atau sekadar minum air putih. Jangan lupakan tidur cukup, karena otak yang segar jauh lebih produktif daripada otak yang dipaksa bekerja dalam keadaan lelah.

4. Kurang Fokus
Ketika otak udah terlalu penuh, fokus pun buyar. Lagi ngetik metode penelitian, tiba-tiba malah kepikiran scroll media sosial. Lagi coba analisis data, eh jadi bengong sendiri. Akhirnya, pekerjaan nggak kelar-kelar dan malah makin bikin stres.
Mau menulis, tapi malah buka media sosial. Mau analisis data, tapi pikiran melayang entah ke mana. Fokus yang buyar bikin waktu banyak terbuang, pekerjaan tak kunjung selesai, dan rasa bersalah pun muncul. Ini tanda kalau otak sudah terlalu penuh.
Tips healing: Rapikan ruang kerja biar lebih kondusif, matikan notifikasi yang mengganggu, dan coba gunakan musik instrumental untuk membantu konsentrasi. Kalau pikiran benar-benar buntu, istirahat sejenak dengan power nap 15–20 menit bisa bikin otak kembali segar.


5. Overthinking Terus-Menerus
Ini sering dialami penulis jurnal. Pertanyaan kayak “Apakah penelitianku cukup layak dipublikasikan?”, “Kenapa hasilnya nggak sesuai harapan?”, atau “Takut ditolak lagi nggak ya?” bisa terus berputar di kepala. Overthinking yang nggak selesai-selesai bikin pikiran makin sumpek.
Rasa khawatir jadi teman setia: takut ditolak, takut salah metode, takut hasil nggak cukup kuat. Pikiran berputar-putar tanpa solusi, membuat energi terkuras sebelum tulisan selesai. Kalau dibiarkan, overthinking bisa menghambat langkah kita sendiri.
Tips healing: Coba tuliskan semua kekhawatiranmu di kertas. Dengan begitu, pikiran jadi lebih lega karena sudah “dikeluarkan”. Bisa juga latihan pernapasan singkat atau meditasi 5 menit untuk menenangkan pikiran. Kalau perlu, cerita ke teman sesama penulis jurnal; kadang berbagi cerita bikin beban lebih ringan. Menurut Chicago Counseling, selain mengambil jeda, penting juga menciptakan rutinitas yang seimbang, misalnya membagi waktu untuk hobi, olahraga ringan, atau interaksi sosial dengan bestie kamu agar pikiran lebih jernih dan tidak terus memutar kecemasan.

6. Ngerasa Jenuh dan Kehilangan Motivasi
Kalau udah jenuh, semua terasa hambar. Menulis jadi sekadar rutinitas tanpa gairah. Bahkan, ada yang sampai mikir, “Kenapa sih harus repot-repot publikasi?” Nah, kalau sudah sampai di titik ini, biasanya butuh banget waktu untuk istirahat dan recharge energi biar bisa balik lagi ke track.
Setelah melewati revisi panjang, rasa jenuh bisa muncul. Menulis terasa hambar, motivasi hilang, bahkan muncul pertanyaan: “Kenapa sih harus capek-capek publikasi?” Kalau sudah sampai titik ini, langkah kecil pun terasa berat.
Tips healing: jangan paksakan diri. Ambil waktu rehat dengan aktivitas yang benar-benar kamu nikmati. Bisa nonton film komedi, olahraga ringan, atau sekadar jalan-jalan ke alam terbuka. Kadang, inspirasi justru muncul saat kita jauh dari layar laptop. Jangan lupa, ingat kembali tujuan besarmu menulis jurnal, entah itu untuk kontribusi ilmiah, kenaikan jabatan, atau sekadar menantang diri. Menurut Healthline (melalui Cleveland Clinic), pemulihan dari burnout bisa dimulai dengan memperhatikan diri sendiri: tidur lebih awal, memasak makanan favorit, atau melakukan aktivitas yang membuatmu merasa kembali “seperti diri sendiri”.

Ingat guys, menulis jurnal itu memang perjalanan panjang dan nggak selalu mulus. Tapi ingat, healing bukan berarti lari dari tanggung jawab. Healing itu cara kasih ruang buat diri sendiri supaya bisa balik lagi dengan semangat baru. Jadi, kalau kamu udah ngerasain tanda-tanda di atas, jangan dipaksa terus-terusan. Beri waktu buat tubuh dan pikiran beristirahat, lalu lanjut lagi dengan energi yang lebih segar. Karena pada akhirnya, jurnal itu penting, tapi kesehatanmu jauh lebih berharga.

Anyway, artikel ini bukan buat nakut-nakutin loh, tapi lebih ke pengingat kalau wajar banget penulis jurnal merasa lelah. Healing itu bukan berarti kabur dari tanggung jawab, tapi memberi jeda buat diri sendiri agar bisa kembali lebih segar dan produktif. Jadi, kalau kamu merasa kena beberapa tanda di atas, coba kasih ruang buat dirimu istirahat sebentar. Karena pada akhirnya, jurnal itu penting, tapi kesehatan mental dan fisik kita jauh lebih berharga.

No comments:

Post a Comment

Give your positive comments.
Avoid offensive comments.
Thank you.