Saat mahasiswa mulai menyusun skripsi, satu hal yang sering bikin bingung adalah: Apa sih gap penelitian itu, dan Bagaimana cara merumuskan kebaruan (novelty) dari topik yang dipilih. Gap penelitian dan kebaruan bukan cuma “hiasan” supaya proposalmu terlihat keren—tapi inti supaya penelitianmu punya kontribusi yang nyata.
Jadi, apa itu gap penelitian? Singkatnya, gap penelitian adalah celah, kekurangan, atau area yang belum diteliti secara memadai oleh penelitian sebelumnya. Bisa berupa teori yang belum cocok diterapkan di konteks lokal, data yang belum lengkap, metode yang kurang mendalam, atau hasil-hasil sebelumnya yang saling kontradiktif. Sedangkan kebaruan adalah bagian dari penelitianmu yang menjawab gap itu—yang belum ada sebelumnya, atau menawarkan pendekatan baru, sudut pandang baru, konteks baru, serta pengembangan dari penelitian lama.
Fungsi atau tujuan mengejar gap & kebaruan ini antara lain: bahwa penelitianmu akan memberikan nilai tambah (bukan hanya replikasi), membantu memperluas ilmu di bidangmu, meningkatkan peluang diterimanya proposal atau artikel ilmiah, serta membuat skripsimu bermakna. Dosen pembimbing dan penguji biasanya mencari: “apa yang baru?”, “apa bedanya dengan penelitian yang sudah ada?”, “kenapa penelitian ini penting?”.
Kalau kamu lewatkan gap & kebaruan, akibatnya bisa lumayan serius: penelitianmu bisa dianggap biasa/biasa saja, kontribusinya dianggap minim; proposal bisa ditolak; kamu akan kesulitan menjawab pertanyaan di sidang; dan bahkan risetmu mungkin hanya mengulang penelitian sebelumnya tanpa membawa perkembangan berarti. Jadi, penting banget memperhatikan ini sejak awal.
Nah, berikut ini 7 hal utama yang sebaiknya kamu perhatikan agar gap penelitian & kebaruanmu kuat dan jelas:
1. Lakukan Review Literatur Secara Menyeluruh dan Terstruktur
Mulai dari jurnal internasional, nasional, skripsi/thesis terdahulu, laporan penelitian, dan sumber primer lainnya. Jangan cuma baca abstrak — tapi baca bagian pendahuluan, metode, hasil, diskusi, dan terutama bagian kelemahan/limitations & saran penelitian selanjutnya. Dari situ biasanya muncul petunjuk gap yang belum tersentuh.
Dalam bidang Teknik Sipil, gap penelitian sering muncul dari perbedaan kondisi lapangan di suatu wilayah dengan penelitian sebelumnya yang biasanya dilakukan di tempat lain. Misalnya, ada penelitian tentang penggunaan campuran aspal dengan limbah plastik yang sudah dilakukan di Pulau Jawa, dengan kondisi iklim dan lalu lintas tertentu. Namun, ketika hal yang sama diterapkan di Ambon atau wilayah timur Indonesia yang memiliki curah hujan lebih tinggi, kelembaban udara yang berbeda, serta kondisi jalan dengan tingkat pembebanan yang tidak sama, hasilnya bisa jadi berbeda. Inilah yang disebut population gap atau contextual gap—kondisi unik di daerahmu bisa menjadi celah penelitian. Dari sini, kebaruan yang bisa ditawarkan adalah: “menilai performa aspal dengan campuran limbah plastik pada kondisi iklim tropis basah di Ambon,” yang jelas belum pernah dibahas di penelitian sebelumnya.
Selain itu, gap juga bisa muncul dari metodological gap. Contohnya, penelitian tentang kekuatan beton ringan dengan campuran fly ash mungkin hanya menggunakan uji tekan (compressive strength). Padahal, dalam praktik teknik sipil, beton juga perlu diuji pada aspek durability seperti ketahanan terhadap serangan sulfat atau air laut, yang sangat relevan di daerah pesisir. Jika penelitian sebelumnya belum menyinggung uji ini, maka kamu bisa menjadikannya gap penelitian. Kebaruannya adalah menambahkan metode pengujian atau parameter baru, misalnya menguji beton ringan berbasis fly ash terhadap air laut dengan variasi waktu perendaman. Dengan begitu, penelitianmu bukan hanya mengulang, tetapi memberikan kontribusi tambahan yang sesuai kebutuhan teknik sipil di lapangan.
2. Perhatikan Kata Kunci dalam Publikasi Sebelumnya yang Menunjukkan Gap
Kata-kata seperti “however”, “lack”, “limited”, “not explored”, “few studies focus on…”, “inconsistency”, “need further research”, “gap in…” dan lain-lain. Kalimat-kalimat itu sering menunjukkan bahwa penelitian sebelumnya sendiri mengakui ada kekurangan yang bisa jadi gap untuk kamu eksplorasi.
Dalam bidang Teknik Sipil, memperhatikan kata kunci dalam publikasi sebelumnya adalah strategi jitu untuk menemukan gap penelitian. Biasanya, penulis artikel ilmiah secara tidak langsung sudah memberi “petunjuk” area yang masih bisa dieksplorasi. Kata-kata seperti limited, lack, atau few studies focus on… sering muncul di bagian literature review atau discussion. Misalnya, dalam jurnal tentang campuran beton dengan material daur ulang, penulis mungkin menuliskan “few studies focus on the long-term durability of recycled aggregate concrete in marine environments”. Kalimat itu adalah sinyal kuat bahwa meski penelitian sudah banyak membahas beton daur ulang, masih jarang yang meneliti ketahanannya di lingkungan laut. Bagi mahasiswa Teknik Sipil di daerah pesisir seperti Ambon, ini bisa langsung dijadikan celah penelitian: menguji kinerja beton daur ulang terhadap air laut dengan siklus perendaman berbeda. Dari situ, kebaruan penelitianmu jelas—karena menjawab keterbatasan penelitian sebelumnya yang diakui sendiri oleh peneliti.
Contoh lainnya adalah pada penelitian tentang perkerasan jalan dengan campuran aspal modifikasi. Sebuah artikel bisa saja menyebutkan bahwa “there is still a lack of studies evaluating the performance of polymer-modified asphalt under heavy rainfall conditions”. Dari kalimat ini, mahasiswa Teknik Sipil bisa langsung menangkap bahwa gap penelitian ada pada kondisi iklim dengan curah hujan tinggi. Jika penelitian sebelumnya banyak dilakukan di daerah beriklim kering atau sedang, kamu bisa menambahkan konteks tropis basah sebagai fokus kebaruan. Misalnya, skripsi bisa diarahkan untuk meneliti daya tahan aspal modifikasi polimer terhadap pengaruh curah hujan tinggi dan suhu tropis basah. Hal ini bukan hanya memperjelas kontribusi penelitian, tetapi juga membuat skripsi relevan dengan kondisi nyata di lapangan, khususnya di wilayah Indonesia bagian timur. Dengan begitu, hanya dari membaca kata-kata kunci seperti lack atau limited, mahasiswa sudah bisa menemukan arah penelitian yang jelas, relevan, dan memiliki novelty yang kuat.
3. Identifikasi Jenis-Jenis Gap yang Ada
Tidak semua gap itu sama. Beberapa jenis gap yang umum:
- Theoretical gap (teori belum cocok / kurang memadai)
- Empirical gap (kurang data lapangan atau data empiris yang kuat)
- Methodological gap (metode yang digunakan sebelumnya punya keterbatasan)
- Population gap (populasi atau sampel belum mencakup kelompok tertentu)
- Evidence gap, knowledge gap, dan juga conflict gap (jika ada hasil penelitian yang kontradiktif)
Pertama, theoretical gap dan empirical gap sering jadi pintu masuk paling jelas untuk skripsi Teknik Sipil. Theoretical gap muncul ketika kerangka teori atau model yang sering dipakai tidak cocok dengan fenomena lokal atau belum menjelaskan perilaku material/struktur tertentu — misalnya model konstitutif tanah yang banyak dipakai dibuat untuk tanah berjenis lempung sedang di Eropa, sehingga kurang akurat bila diaplikasikan pada tanah laterit atau tanah berlumpur pesisir di Ambon; kebaruannya bisa berupa “mengadaptasi atau mengembangkan model konstitutif yang mempertimbangkan karakteristik laterit tropis basah”. Empirical gap terjadi saat data lapangan atau bukti eksperimen belum memadai: contoh nyata di Teknik Sipil adalah kurangnya data jangka panjang tentang ketahanan beton daur ulang terhadap korosi akibat air laut atau minimnya monitoring performa perkerasan jalan yang memakai campuran aspal-modifikasi plastik di daerah beriklim tropis basah. Solusi penelitian yang menawarkan kebaruan misalnya melakukan studi lapangan terinstrumentasi selama 12–24 bulan (strain gauge, accelerometer, pengukuran kedalaman rutting, sampling chloride diffusion) untuk membuktikan perilaku nyata material tersebut, atau melakukan uji laboratorium lanjutan (uji difusi klorida, uji ketahanan sulfat, uji siklus perendaman) yang dikombinasikan dengan validasi lapangan — itu langsung menjawab empirical gap sekaligus jadi novelty karena data lokal dan durasi observasinya berbeda dari studi sebelumnya.
Kedua, methodological gap, population gap, serta evidence/ conflict gap sering muncul dan sangat berguna untuk dirumuskan jadi kebaruan praktis. Methodological gap contohnya bila penelitian terdahulu cuma pakai uji tekan statis untuk beton sedangkan dalam praktik struktur mengalami pembebanan siklik (gempa) — kamu bisa mengisi gap dengan kombinasi uji cyclic triaxial/ resonant column untuk tanah atau dynamic load test pada struktur, atau memakai pemodelan numerik (FEM) dipadukan dengan eksperimen untuk validasi. Population gap muncul kalau sampel penelitian sebelumnya terbatas pada jalan arteri perkotaan, sementara kondisi jalan pedesaan (low-volume roads) yang memakai material lokal belum diteliti; kebaruan di sini bisa berupa “studi pertama pada low-volume roads di wilayah X dengan variasi substrat tanah dan volume lalu lintas rendah”. Sedangkan evidence/ conflict gap terjadi saat literatur menunjukkan hasil yang bertentangan — misalnya beberapa studi menyatakan penambahan fly ash meningkatkan durability beton, namun studi lain menemukan penurunan performa di lingkungan laut — cara menyikapinya: lakukan meta-analisis atau eksperimen terkontrol yang mereplikasi kondisi berbeda dan jelaskan faktor pengubahnya (variabel moderator seperti kadar garam, rasio air-semen, curing time). Untuk rumusan kebaruan yang kuat di skripsi Teknik Sipil, tulis eksplisit jenis gap-nya, metode yang kamu pakai untuk menutupinya (mis. kombinasi uji laboratorium + monitoring lapangan + pemodelan numerik), dan kontribusi praktisnya (mis. pedoman pemilihan campuran untuk konstruksi pesisir atau rekomendasi desain perkerasan untuk curah hujan tinggi).
4. Gunakan Perbandingan Konteks / Lokasi / Waktu yang Unik
Kadang penelitian sudah dilakukan, tapi misalnya di negara lain, budaya lain, periode waktu yang berbeda, kondisi sosial ekonomi yang berbeda. Mengambil konteks lokal (kampusmu, komunitasmu, kondisi wilayahmu) bisa menjadi sumber gap/kebaruan yang bagus.
Menggunakan perbandingan konteks/lokasi/waktu itu pada dasarnya memanfaatkan perbedaan nyata antara tempat atau periode yang satu dengan yang lain untuk menemukan celah penelitian yang relevan di Teknik Sipil. Artinya, bukan sekadar mengulang studi yang sudah ada, tapi bertanya: “Apakah temuan itu berlaku juga di kondisi X (iklim, jenis tanah, praktik konstruksi, beban lalu lintas, paparan laut)?” Contohnya konkret: banyak studi tentang campuran aspal termodifikasi dilakukan di daerah beriklim sedang dengan curah hujan rendah — sementara di Ambon atau wilayah pesisir tropis basah, curah hujan tinggi dan kelembapan bisa mempercepat degradasi aspal sehingga perilaku rutting, stripping, dan kehilangan kekuatan berbeda. Jadi gap-nya: belum ada evaluasi performa jangka panjang aspal termodifikasi pada kondisi tropis basah dengan drainase lokal yang terbatas. Atau contoh lain: penelitian tentang beton dengan agregat daur ulang mungkin menunjukkan kekuatan tekan yang memadai pada uji laboratorium di daratan, tetapi belum diuji pada kondisi eksposur air laut dan siklus basah-kering yang khas daerah pesisir — gap yang bisa ditutup dengan uji difusi klorida, uji siklus perendaman, dan monitoring korosi tulangan di lapangan. Bahkan model konstitutif tanah yang dikembangkan untuk tanah alluvial di wilayah temperate seringkali tidak akurat bila diaplikasikan pada laterit atau tanah gambut pesisir; itu membuka peluang untuk mengadaptasi atau mengkalibrasi model numerik (FEM) berdasarkan data SPT, konsolidasi, dan uji triaksial siklik dari lokasi setempat. Intinya: bandingkan kondisi studi sebelumnya dengan kondisi lokal (iklim, mineralogi tanah, praktik konstruksi, beban) dan tunjukkan secara spesifik variabel apa yang kemungkinan besar berubah — itu sudah merupakan temuan gap yang kuat.